Langsung ke konten utama

"Mandikan Aku Bunda"

(Terinspirasi dari kisah nyata)

Setelah sekian lama aku berkutat dengan masa kuliahku ini, akhirnya aku bisa bernafas lega. Rasanya setelah dinyatakan lulus itu sangatlah bebas. Walaupun aku tahu, masih banyak jalan yang panjang yang harus aku tempuh. Tapi setidaknya, masa yang sulit itu bisa dicapai juga.
Aku lulus dengan nilai terbaik dijurusan yang aku tempuh. Hanya memerlukan waktu 4 tahun akhirnya aku lulus dan ini suatu kebanggaan tersendiri buat aku karena aku termasuk mahasiswa yang lulus dengan cepat. Aku pun banyak yang menawarkan pekerjaan sebelum aku lulus. Namun, hanya satu yang aku ambil, yaitu dibagian keuangan perbankan, sama seperti jurusan yang aku tempuh ini.
Setelah diwisuda, rasanya seperti baru kemarin aku masuk sekolah dasar(SD), namun kini aku sudah mendapat gelar sebagai sarjana Ekonomi dengan nilai terbaik tahun ini. Sungguh sangat membanggakan aku dan juga orangtua ku. Terlebih aku kini bisa memikirkan masa depan aku dengan Dimas, laki-laki yang sejak 3 tahun ini selalu bersamaku, kekasih hatiku.
Aku akhirnya mendapat pekerjaan disebuah Bank ternama di negeri ini. Aku bekerja dari jam 9 pagi hingga 5 sore. Inilah rutinitasku setiap hari. Membosankan memang, karena jam istirahatpun hanya sebentar. Dan Dimas juga sama, ia 2 tahun lebih dulu bekerja disini. Dimas lah yang membawaku bekerja disini. Kami selalu menghabiskan waktu bersama, karena memang ini juga adalah keinginanku dulu. Bahagia rasanya bisa bekerja berbarengan dengan seseorang yang telah lama aku cintai.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah. Diusiaku saat itu yang berusia 24 tahun, akhirnya kami menikah. Sangat mewah karena pihak Bank dan kedua orangtua kami membantu pernikahan kami dari segi financial. Mungkin tak pernah terlukis sebelumnya aku bisa menikah dengan semewah ini. Dan akhirnya selama 4 tahun kami dalam tahap menjalin kasih, kali ini kami putuskan menjadi sepasang insan untuk hidup berdua dalam bahtera rumah tangga.
Hari-hariku kujalani bersama Dimas, suamiku yang begitu aku cintai. Aku dan dia sudah sepakat untuk segera memberi  momongan. Akhirnya setelah 4 bulan aku menikah, akupun diberi hadiah pula yang begitu besar dari sang maha kuasa. Aku dinyatakan hamil oleh dokter. Dan ini sangat membahagiakan kami berdua. Betapa tidak, ini suatu anugerah yang sudah sangat kami nantikan sejak pernikahan kami.
Sembilan bulan aku mengandung, anak pertama ini akhirnya lahir dengan normal. Kami sangat bahagia, dan mungkin tak bisa aku bending kebahagiaanku ini. Pekerjaan yang menjanjikan, rumah yang besar, gaji yang diatas rata-rata, suami yyang setia dan selalu bersamaku, dan satu lagi buah hati yang begitu tampan masuk dalam jajaran keluarga kecil kami. Ahirnya kami memutuskan untuk menamai anak kami yaitu, Alifya Syahidi. Nama depan Alifya ini aku ambil karena kesepakatan bersama suami dengan maksud bahwa alif ialah huruf pertama Hijayiyah dalam Islam, dan Ya ialah huruf terahir. Kami ingin Alifya adlah anak pertama dan terakhir. Mengingat kedepannya aku pasti sibuk dengan pekerjaanku yang sudah lama aku tinggalkan karena cuti melahirkan.
Diusia Alifya yang masih terhitung bulan, aku sengaja titipkan pada orangtuaku, juga dibantu dengan seorang Babysitter. Aku sengaja menyewa pengasuh karena kesibukan aku dan suami yang semakin hari semakin sulit untuk menemukan waktu luang. Kadang aku dan suamiku bisa sampai larut malam kalau pulang. Namun selalu ada saja yang membuatku hilang rasa lelah ini, ya, malaikat kecilku, Alifya.
Saat ini, malaikat kecilku itu sudah beranjak besar. Kini, usianya sudah 3 tahun. Aku semakin hidup walaupun aku jenuh dengan pekerjaanku ini. Tapi aku memiliki penyemangat hidup, suami dan Alifya. Namun, selama itu, kesehariannya selalu dengan pengasuh yang aku pekerjakan dirumah ku. Aku selalu menanyakan keadaan Alifya kepadanya. Maka aku tak perlu cemas bila terjadi kenapa-kenapa kepada Alifya. Karena aku telah mempercayainya sejak Alifya masih kanak-kanak.
Suatu hari, keanehan terjadi. Aku heran dengan sikap Alifya yang pada pagi hari selalu saja merengek ingin dimandikan. Aku baru sadar bahwa selama ini aku tak punya banyak waktu untuk memandikan Alifya. Namun aku harus berangkat pagi-pagi sekali setiap hari. “Bunda, mandikan aku bunda”, rengek Alifya. Namun aku selalu membujuknya agar ia mau mandi dengan pengasuh saja. Suamiku pun akhirnya membantu untuk membujuk Alifya, “Alifya, kamu mandi sama mbak Ita aja yah, Ayah sama Bunda harus berangkat ke kantor setiap hari, nanti Ayah beliin mainan buat kamu kalau udah pulang yah”. Akhirnya Alifya menurut. Namun itu berulang disetiap pagi kulalui. Namun aku tidak sempat untuk memandikan Alifya.
Ketika sedang mengerjakan pekerjaan di kantor, ada telepon masuk. Aku lihat ternyata bukan dari Klien, melainkan dari telepon rumah kami. “Bu, Alifya sekarang di Rumah Sakit bu, kondisinya kritis bu. Dia kejang-kejang, badannya panas bu, sekarang Bapak sama Ibu (Orangtua kami) sedang dlam perjalanan kemari bu.”, sahut pengasuhku dengan nada kawatir. Aku hanya diam, sedikit aku ingin sekali menangis. Lalu aku bergegas ke tempat kerja suamiku, dan langsung membicarakan hal ini pada suamiku. Kami berdua langsung menuju Rumah Sakit. Namun Tuhan berkata lain, Tuhan tidak memberikan kesempatan pada kami untuk melihatnya sebentar Alifya. Alifya sudah tak bernyawa, ia kini terbaring kaku ditempat tidur Rumah Sakit ini.
Ahirnya aku baru sadar, mungkin apa yang diinginkan oleh Alifya saat itu meminta dimandikan olehku karena ia ingin sekali dimandikan untuk yang pertama dan terakhir. Aku mulai merasa berdosa sekarang. Aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri, tapi sedikit waktu untuk membahagiakan anakku saja tidak bisa. Penyesalan memang datang terlambat. Aku menyesal kali ini.
Setibanya dirumah, aku menangis, namun aku teringat kata-kata Alifya, “Mandikan Aku Bunda”, kata-kata itu masih terngiang dikepalaku saat ini. Aku bergegas ke luar, dan aku melihat Alifya yang siap dimandikan pada saat itu juga. Aku langsung mengambil alih untuk memandikan Alifya. Inilah yang diinginkan Alifya, memandikannya oleh ibunya sendiri. Air mataku bercucuran. Aku kemudian histeris, “Bangun nak…bangun, ini bunda alifya…. Ini bunda sedang memandikan kamu. Bangun Alifya, bangun nak.”, aku kemudian memeluk tubuh yang sedang ku mandikan dengan terbaring kaku itu. Usia Alifya yang masih 3 tahun, tak kusangka bisa secepat ini meninggalkan aku dan suamiku. Aku sungguh menyesal akan hal ini. Sangat menyesal. Maafkan Bunda Alifya.
Memang suatu pekerjaan akan membuat kita lupa segalanya, bahkan ini akan membuat kita lupa pada anak sendiri yang ingin sekali diperhatikan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri. Kini aku hanya hidup kembali berdua. Entah kapan aku akan mempunyai buah hati seperti Alifya kembali. Alifya, maafkan Bunda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Postingan Terakhir Coretan Bingkai Pena

Ya, selamat pagi semuanya. Di pagi yang hujan turun secara perlahan ini, saya sebagai pembuat blog ini memang banyak-banyak berterimakasih kepada pembaca yang sudah 28 ribu view blog ini. Hal ini tentu membuat saya bangga akan pencapaian view ini karena blog ini hanya berisi tulisan ringan dengan penyajian romantis dan puitis. Tentunya dengan postingan ini akan menjadi postingan yang terakhir buat saya. Karena alasan tertentu blog ini tidak lagi dibuat tulisan. Saya sendiri mengalihkan tulisan-tuisan saya di www.nirfanprasetya.blogspot.com karena sesuai keinginan saya menyajikan tulisan dengan suasana berbeda. Disana pula saya tuangkan hobi saya dengan sedikit jenaka dan berita-berita unik dalam kemasan selera saya sendiri. Sampai jumpa di blog saya  disini  yang akan melanjutkan tulisan bingkai pena. Salam... Nirfan Follow Twitter @nirfanprasetya Follow IG nirfanprasetya Path nirfanprasetya FB Nirfan Prasetya Channel Youtube : Nirfan Prasetya

“Biarkan Aku Melakukannya, Bunda”

Hari ini mungkin menjadi hari terindah dalam hidupku. Tidak peduli akan masa lalu, dan kini akan ku sambut masa depan bersamanya, kekasih yang InsyaAllah menjadi pelabuhan terahir cinta ini. Hari ini sangat aku tunggu juga dia, yang telah 5 tahun menjalin kasih sayang untuk merajut dan membuka lembaran baru, menikah bersamanya. Tedy, itulah nama yang hari ini akan mengucapkan janji denganku untuk membina rumah tangga bersamaku. Jam telah menunjukan pukul 08.00. Jantung ini benar-benar berdegup kencang, tidak biasanya bahkan lebih kencang dibanding Interview melamar pekerjaan. Tubuh ini pun dibalut dengan pakaian adat Sunda yang begitu khas. Warna putih aku pilih untuk menghadapi akad nikah hari ini. “Rini, kamu sangat terlihat cantik sekali”, puji ibunda tercintaku yang sedari tadi ikut meriasi aku. “Ah bunda, setiap hari juga aku kan cantik bun..”, ucapku dengan senyuman. “ya sudah ayo cepat, sebentar lagi rombongan keluarga Tedy datang”, sambil merapikan kerudungku yang membalu

Terimakasih

Terimakasih ku ucapkan kepadamu yang telah warnai hati ini kemarin lalu Terimakasih ku ucapkan kepadamu yang telah kembalikan senyumku seperti semula Ada kalanya sesuai tidaknya suatu hubungan ditentukan dari hati masing-masing Walau ahirnya hanya resah yang terasa Resah tak milikimu Resah tak mampu bahagiakanmu Terimakasih hari-hari yang menyenangkannya Mungkin dilain waktu kita akan berjumpa lagi Entah itu sekedar teman, atau sekedar dekat kembali Senang telah mengenalmu Dari aku sang pengenal lelah