EBTANAS, UAN, UN ketiga singkatan yang bermakna sama selalu menjadi ketakutan bagi setiap siswa yang akan menghadapinya. Bagaimana tidak, dalam proses pembelajaran, siswa hanya dinilai dari satu sikap yaitu UN.
Penulis ingin memaparkan sedikit mengenai UN. UN dari tahun ke tahun selalu mengagumkan bila yang sedang menempuh ahirnya lulus. Namun bagi yang tidak, rasanya ingin bunuh diri saja. Bagaimana tidak, UN menjadi pertimbangan lulus tidaknya seseorang dalam menempuh pembelajaran. Padahal ada proses yang seharusnya pula dinilai seperti Afektif, kognitif dan psikomotor. Namun hal itu diabaikan negara.
Kita bukan Singapura yang penduduknya sedikit dan mudah untuk dibimbing. Kita bukan bangsa kecil Malaysia yang mudah untuk disamakan. Kita bangsa besar, yang mana ada ribuan pulau dengan keadaan pembangunan yang tidak merata namun disama ratakan untuk satu nama, UN. Miris memang. Namun itulah yang terjadi.
Anak perkotaan dengan kecanggihan dan kepintarannya yang dimiliki membuat mudah dan wajar bila UN ada untuk mereka. Namun bila UN harus pula disamakan di penduduk terdalam yang akses menuju kesana saja harus berliku, atau hanya akses udara, baetapa berdosanya negara ini pada mereka yang benar-benar harus berusaha.
Melihat acara di Televisi swasta, dimana seorang anak kelas 4 SD di papua sana saja masih belum bisa membaca. Dan UN untuk SD sudah siap 2 tahun lagi. Maka apakah harus disamakan? Tentunya miris.
Semoga tulisan ini sedikit bisa membuka mata Pemerintahan Negara besar ini. Yang mana kelak akan menjadi penerus bangsa ini yaitu dari kalangan para pemudanya.
Salam penulis
waw...
BalasHapus